28 Des 2012

Aku menatap keluar jendela, jendela yang biasa ditemui di kostan laki-laki, kotor dan penuh dengan stiker band seperti Blink 182, The Ramones, NOFX atau Nirvana. Di luar hujan cukup deras, suara air yang jatuh di atap seng, mampu mengalahkan nada dering ponsel ku. Di atas meja tergeletak pulpen dan kertas-kertas soal yang katanya bakal keluar di ujian terakhir masa SMA ku. Tapi hujan di luar lebih menarik perhatian ku dari pada soal-soal itu, melihat orang-orang berlarian ditengah hujan lebih menyenangkan daripada angka-angka dan huruf X atau Y. wajah menggerutu, wajah lelah, dan wajah sedih bergantian keluar masuk dari jendela. Tiba-tiba saku ku bergetar, ada SMS masuk. Tentu saja aku sudah tau siapa pengirimnya, dan dia pasti baru saja menyelesaikan latihan pramuka di sekolahnya, ini sudah pukul 5,  tak banyak kata tertera di layar ponsel ku, 2 kata “aku kangen”.

**

 Aku kecewa, ini adalah liburan pertama aku sejak aku tinggal sendiri di Jombang, sebelum menaiki kapal yang berangkat dari Surabaya ke Sampit, aku membayangkan diriku tengah menyombongkan diri di depan teman-teman SD ku. Bagi ku, menjadi kebanggaan tersendiri ketika bersekolah jauh dari orang tua dan tinggal sendiri. Meski baru beberapa bulan, rasanya aku sudah merasa cukup mandiri dan menjadi laki-laki sejati. hal ini juga terus memenuhi kepala ku saat berada di mobil panther selama 4 jam sejak aku meninggalkan Sampit dan tiba di Palangka Raya, kota kelahiran ku.

 Sementara ruang keluarga penuh dengan ibu-ibu yang bergosip, di luar, aku masih bisa mendengar suara ketukan palu para bapak-bapak yang sibuk menghias mobil pick up tua yang mereka sulap menjadi Pinisi, kapal khas dari Sulawesi Selatan. Dan aku harus rela untuk  mengenakan baju adat berwarna biru laut lengkap dengan songkok berwarna kuning terang. Menjadi bagian dari karnaval bukanlah agenda dari liburan ku, seharusnya aku berada di depan televisi,memegang stik PS dan menyelesaikan misi terakhir untuk menyelamatkan kota Racoon dari para zombie.

Matahari ceria sekali hari ini, ayah ku juga. Aku bisa melihatnya dari senyum dan matanya saat menggendong anak laki-laki satu-satunya yang ia miliki dan mendudukannya di atas ‘Pinisi’. Tapi tidak dengan ku.

 “kenapa harus aku?” Tanya ku.

“badan mu kecil” jawabnya singkat.

“aku sudah kelas satu SMP!”,aku berusaha berdebat,

“dan badan mu kecil”, lalu ia perlahan mengecil lalu menghilang dengan senyuman khasnya itu.

Aku menyadari bahwa Karnaval akan segera di mulai saat aku merasa kapal ‘Pinisi’ sudah bergerak untuk berlayar. Di sini cukup sempit, aku melihat 2 bangku kosong tepat di depan ku,dan seorang pria yang sibuk dengan ‘jas tutup’-nya.  Aku tidak mengenalinya. 10 menit kami tenggelam dalam diam.

**

“KARNAVAL BUDAYA NASIONAL KE-XX” aku menatap spanduk besar bergambarkan burung hitam yang besar dengan paruh panjangnya. Entah apa jenisnya. Tiba-tiba perlahan laju ‘Pinisi’ melambat, namun suara di sekitar ku semakin ramai. aku tahu aku tidak sendiri, jalan kini mulai di padati belasan mobil-mobil hias lainnya, ada yang berbentuk rumah Joglo, ada yang berbentuk seperti Reog,bahkan ada yang membawa bedug dengan para penabuhnya lengkap dengan speaker beserta mic-nya. Entah apa maksudnya.

Suara bapak walikota terdengar dari alun-alun kota hampir bersamaan dengan di injaknya rem mobil hias yang aku naiki, dan pria yang tadi bersamaku turun dari mobil sambil memberi tanda agar aku tetap menunggu dengan tangannya. Sepertinya bapak walikota sedang memberi sambutan dan berbicara tentang budaya, aku mendengarnya tapi tidak memperhatikannya,karena aku memilih memperhatikan pria asing itu kembali datang dengan  anak-anak yang berpakaian mirip denganku. 1 laki-laki dan 2 perempuan. “Hmm. Teman senasib” pikir ku.

“ayo semua naik ke mobil!” akhirnya pria asing itu bersuara juga. sambil menolong anak-anak itu naik satu-persatu. Pria itu sepertinya sedang ceria juga seperti matahari dan ayahku, itu terlihat dari siulannya  saat memasang spanduk kecil di bagian kiri badan mobil. Dengan bantuan ku dan teman baru ku tentunya. “Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan” adalah tulisan yang paling besar dari pada tulisan-tulisan yang lain yang tercetak di spanduk itu, setidaknya hanya itu yang aku bisa baca.

Musik khas dayak mulai di mainkan setelah berakhirnya sambutan yang di berikan bapak walikota. Para penari masuk  ke lapangan, warga menyemut, membuat setengah lingkaran di sekitar para penari, di atas mobil adalah posisi yang cukup baik untuk melihat tarian itu untuk ku, tak cuma penari yang bisa aku dapatkan di sini, ada juga para pedagang yang berhasil memenuhi trotoar dengan dagangannya, minuman soda, bakso, balon sampai mainan anak-anak. sepertinya siang ini adalah siang yang sibuk.

Sebuah percakapan yang berdialeg tidak asing membuat ku harus memperhatikan sumber suara itu, si gadis kecil dengan pria asing. Sepertinya itu bahasa bugis, dan gadis yang duduk tepat di depan ku cukup mahir menggunakannya. Aku sama sekali tidak mengerti bahasa bugis. Meski orangtua ku kedua berasal dari Sulawesi Selatan mereka tak pernah mengajarkan ku berbahasa bugis. Mereka sudah cukup lama pindah dan tinggal di Palangka Raya, bahkan sebelum aku lahir. Dan sepertinya anak laki-laki yang berbadan lebih tinggi dari ku tidak tertarik dengan percakapan itu, ia memilih berbincang dengan anak perempuan yang juga tak kalah tinggi darinya.

**

‘Pinisi’ berlayar lambat, mungkin aspal memang bukan medan yang tepat untuknya, atau  rumah dari Jerami khas Papua di depan terlalu lambat?, sedangkan, pria ber-‘jas tutup’ sudah pergi sejak beberapa tarian telah selasai di pentaskan dan mobil-mobil hias di persilahkan untuk berkeliling kota. Menjadi “tontonan” di jalan,di tambah dengan 3 anak-anak yang sama sekali tidak aku kenal. bukanlah hal yang menyenangkan.

Berbaju Bodo lengkap dengan bando, kalung, anting, dan gelang berwarna emas sepertinya cukup menyiksa gadis di depan ku, wajahnya cemberut. Aku kasihannya melihatnya.

“berat ya?, Aku mencoba mencairkan suasana.

“Hah?”, Ia terkejut.

“berat ya?, aku bertanya lagi.

ia hanya mengganggukkan kepala, sebelum akhirnya kami kembali menatap orang-orang  yang asik menikmati pemandangan langka di kotanya, yaitu kami.

“itu burung tingang”, tiba-tiba gadis itu berbicara. Aku hanya bisa diam menatapnya berbicara tentang nama burung berparuh panjang yang menjadi gambar di spanduk dan model dari patung bundaran yang sedang aku perhatikan.

“burung tingang itu burung nya orang dayak, makanya penari-penari dayak menggunakan bulu burung tingang untuk di taruh di kepalanya “ tambahnya.

Patung burung di bundaran itu adalah rute terjauh sebelum akhirnya rombongan mobil hias harus kembali ke alun-alun kota, sekaligus menjadi awal pembicaraan kami selama beberapa saat sebelum hujan akhirnya harus menghentikan karnaval dengan paksa. ‘nahkoda’ kami memilih sebuah ruko yang baru selesai di bangun  untuk berteduh. setelah menurunkan kami dari kapalnya ia segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi orang tua kami satu persatu.

Sore ini  langit begitu gelap, hujan turun keras, dan Angin sepertinya tak ingin kalah dengan langit. Aku mencuri-curi dengar percakapan tentang cuaca yang berubah-ubah dari supir kami dan pengendara sepeda motor yang tidak membawa mantel. Sedangkan kami berempat tidak saling bicara, dan dalam diam, aku menyukai gadis itu.

Hujan hampir mereda. Para pengendara lain mulai melanjutkan perjalanannya, lampu jalan juga sudah di nyalakan, saat sebuah mobil datang mendekat dan membawa anak perempuan yang bertubuh besar. Lalu mobil yang lain datang, gadis itu tersenyum sambil melambaikan tangannya kepada kami, sebagai tanda perpisahan tanpa kata-kata, Aku tahu ini sudah waktunya. Dan akhirnya mobil itu harus berjalan dalam gerimis dan lampu jalan, lalu menghilang.

**

Hujan di luar masih belum selesai, soal-soal di meja juga begitu. Aku masih enggan menyelesaikannya. Aku masih ingin menikmati pertunjukkan hujan dari jendela. Tapi pesan dari kekasih ku memaksa ku untuk sejenak mengabaikan hujan dan membalasnya. lalu aku meletakkan ponsel ku ke atas meja dan kembali menikmati hujan.

**

Sebuah mobil berhenti di sebuah lampu merah di dekat bundaran burung, jalanan di sekitarnya basah,sepertinya karena hujan. Di dalamnya hanya ada seorang perempuan dengan seragam berwarna coklat. Ia sedang membaca pesan yang baru masuk di ponselnya, “aku juga kangen, kamu masih ingat cerita soal burung Tingang tidak? ”

Popular Post

Saddam Syukri. Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Aksara Lepas - Designed by restuwashere -