AIK

di bajumu kau memelihara banyak kucing
di sepasang sepatumu pun begitu, penuh kucing
kucing-kucingmu suka sekali tidak  acuh
bahkan ketika banyak yang mengaduh

akupun tidak mau kalah. aku lalu memelihara seekor anjing
anjing yang mengibaskan ekornya saat melihat kucing-kucingmu bermain
anjing yang ingin sekali mengajakmu bermain
anjing yang berkalung temali yang ditampat kencang dengan karang

-DH 304. 
8 Nov 2014
Tag :

What Happen to Horror movie in Indonesia?



sebenarnya ini tugas kuliah menulis beberapa semester yang lalu, karena kontennya cukup menarik, jadi di posting saja..

What Happen to Horror movie in Indonesia?

Indonesia is a country with a lot of kind cultures, with all that Indonesia have, Indonesia should have many masterpiece in art, including in movie. But some of movie critiques are disappointed with Indonesian movies, especially in horror movie.

Before 2010,  horror’s filmmaker in Indonesia adopted Indonesian urban story in their works. Pocong, Kuntilanak, Santet, or haunted house was picked by horror filmmakers in Indonesia. But in early 2010. It seems that Horror’s filmmaker have no idea in making horror movie. They put some other erotic scene in their works, such us showering scene, the nurse with sexy breast, etc. why is this happening?

Basically, this is film producers’ responsibility. The movie is never exist if its never produces. But Film producer not only the one who have to blame in this situation. Because they need to earn money.

This is a little information in making film in Indonesia, every movie who will be screening in theatre must pay at least 500 million Rupiahs and every single person who went to theater, the production house will gets 8000 Rupiahs when theatre sell each ticket in 35000 Rupiahs.  If 3 billion Rupiahs was lost in making one movie. They must sell the movie to the television for 200-300 million rupiahs. Its not enough to covering the cost of one film if the number of people who went to theatre is under the target. Production house may get bankrupt.

So the solution is to push the cost in filmmaking process. for example, research in making a great story  is expensive. So they make their own story. They also try to not use a lot of location. So the horror movie its solution. Because horror movie just use less location than another genres. They also take some unrated actress with good appearance and sexy body. And here we are.

Unfortunately, this kind of movie rises to be a popular one in Indonesian audiences. People love to see the newcomer actress with their new sexy underwear. They didn’t care about the story, the message, or something to learn in watching movie. They only wait for the scene when the actress take off their clothes.

12 Jun 2013
Tag :

Malam yang riuh bersama Payung Teduh



Payung Teduh ?, sebuah band?  Itu adalah hal pertama yang terlintas di kepala ku saat beberapa teman mengajak ku untuk menyaksikan langsung penampilan mereka di sebuah acara yang di adakan di halaman salah satu distro terbesar di Makassar, dan karena  malam itu malam minggu,dan aku  sedang kosong,maka aku mengiyakan ajakan mereka.

 Karena tidak ingin terlambat ,kami  sudah berada  di sekitar venue sekitar  pukul 19.30 Wita, dan suasananya masih cukup sepi. Para panitia juga masih terlihat sibuk mengecek mempersiapkan acara. Di sana kami menemukan  sesuatu yang menarik yaitu sebuah mini bus yang di sulap menjadi toko berjalan yang di namakan Music Bus. Di sini kami bisa menemukan VCD dan DVD original dari artis-artis mancanegara, tak hanya itu. Mereka juga menjual kaos T-shirt import bertuliskan The Beatles, The Smith, Metallica dan Band-band luar lainya.

Tepat pukul 20.00-, sang MC membuka acara yang dilanjutkan dengan penampilan band pembuka,The Finalist.

Di isi oleh Rizky de Keizer - bass & vocal, A Cakra Manggabarani - guitar dan Sarah Adelia – drum. Intro dengan melodi gitar berefek distorsi mereka menandai dimulainya konser . dan dilanjutkan lagu kedua mereka yaitu Just The way You Are  yang di populerkan Bruno mras. Di susul dengan single mereka “Dia Memang Ada”, Bad Romance (Lady Gaga), dan di tutup dengan “Black or White” (Micheal Jackson).

Band selanjutnya adalah  beranggotakan Ni’mal - vocal/instrument, Fadli -  vokal/bass dan Firman - gitar  band akustic bergenre folk. Kicking Moday Tampil dengan single andalan mereka “Calculus Love”  lalu di tampilkan berurutan lagu “kiss me” (sixpence none the richer) , “mrs cold” (King of convenience) ,”mengukir bintang” dan  lagu yang terdapat  mini album mereka “Again”. Tampil sebagai band pembuka, band ini tampil menawan dan berhasil mencuri perhatian penonton.

Adi Duri sebagai band pembuka terakhir, band yang juga berasal Makassar ini sudah memiliki nama yang cukup besar, membawakan beberapa lagu mereka seperti “sumpah mati ku” ,“you give me something” (james Morrison), ”ku ajak cinta” ,dan “pantai yang indah“. Band yang memiliki vokalis dengan suara khas ini mendapat tepuk tangan yang meriah. Tentu saja karena penampilan mereka yang luar biasa.

Jam menujukkan pukul 22.10. saat Is (vokal/gitar), Comi  (bass), Cito (drummer) dan Ivan  (guitalele) memasuki stage dan langsung memainkan “berdua saja”. sebagai orang belum pernah mendengar lagu mereka.  aku cukup takjub. ini bukanlah band biasa yang akan tampil di televisi. Alunan gitar nya seakan membawa kita ke dunia lain. Begitu membius dan meneduhkan, inilah Payung teduh. Musik mereka terdengar seperti jazz terkadang seperti keroncong tetapi terkadang bukan,entahlah. apapun genre mereka, Namun music mereka telah membawa angin segar untuk dunia music Indonesia.

Lagu kedua “angin pujaan hujan” , menyadarkan aku bahwa lirik lagu payung teduh sangat puitis, ini berbeda dengan kenyataan bahwa band band baru sekarang banyak yang hanya mengadalkan tampang. Petikan gitar nya klasik, seperti mengajak kita bernostalgia tentang kenangan-kenangan cinta.

Malam itu Payung teduh membawakan  10 lagu,lagu  mereka yang lain seperti “cerita tentang gunung dan laut” , “nurlela” , “menuju senja”  ,”ku cari kamu” , ”rahasia” dan “untuk perempuan yang sedang dalam pelukan”, juga mereka bawakan dengan sungguh anggun. Is sang vokalis berambut gondrong, tidak terlalu tampan, dan humoris, itu terbukti dengan candaan –candaan yang sering dia lontarkan di tengah tengah lagu yang mereka mainkan, selain itu juga Is mengatakan bahwa ia memiliki darah keturunan dari sulewesi selatan, itu menjelaskan kebingungan penonton karena dia mampu berbahasa Bugis. Bahkan ia sempat sedikit menyanyikan lagu anging mamiri, lagu khas Makassar.

Saat ”resah” di mainkan seluruh penonton menciptakan suasana yang magis, mereka menyanyikan separuh lagu dengan syahdu dan teratur, benar –benar meneduhkan. Tapi waktu terus  berputar, kebersamaan dengan Payung Teduh pun harus berakhir.

“Tidurlah” di pilih menjadi lagu terakhir. Mungkin sebagai pengingat bahwa pertunjukkan akan segera berakhir. Sepertinya lirik lagunya yang berbunyi “ tidurlah.. malam  terlalu  malam ,tidurlah..  pagi terlalu pagi” .

 dan dengan berakhirnya lagu itu, maka pertunjukkan mereka pun selesai. lalu para penonton mulai membubarkan diri beraturan.
31 Des 2012
Tag :

Karnaval dalam hujan

Aku menatap keluar jendela, jendela yang biasa ditemui di kostan laki-laki, kotor dan penuh dengan stiker band seperti Blink 182, The Ramones, NOFX atau Nirvana. Di luar hujan cukup deras, suara air yang jatuh di atap seng, mampu mengalahkan nada dering ponsel ku. Di atas meja tergeletak pulpen dan kertas-kertas soal yang katanya bakal keluar di ujian terakhir masa SMA ku. Tapi hujan di luar lebih menarik perhatian ku dari pada soal-soal itu, melihat orang-orang berlarian ditengah hujan lebih menyenangkan daripada angka-angka dan huruf X atau Y. wajah menggerutu, wajah lelah, dan wajah sedih bergantian keluar masuk dari jendela. Tiba-tiba saku ku bergetar, ada SMS masuk. Tentu saja aku sudah tau siapa pengirimnya, dan dia pasti baru saja menyelesaikan latihan pramuka di sekolahnya, ini sudah pukul 5,  tak banyak kata tertera di layar ponsel ku, 2 kata “aku kangen”.

**

 Aku kecewa, ini adalah liburan pertama aku sejak aku tinggal sendiri di Jombang, sebelum menaiki kapal yang berangkat dari Surabaya ke Sampit, aku membayangkan diriku tengah menyombongkan diri di depan teman-teman SD ku. Bagi ku, menjadi kebanggaan tersendiri ketika bersekolah jauh dari orang tua dan tinggal sendiri. Meski baru beberapa bulan, rasanya aku sudah merasa cukup mandiri dan menjadi laki-laki sejati. hal ini juga terus memenuhi kepala ku saat berada di mobil panther selama 4 jam sejak aku meninggalkan Sampit dan tiba di Palangka Raya, kota kelahiran ku.

 Sementara ruang keluarga penuh dengan ibu-ibu yang bergosip, di luar, aku masih bisa mendengar suara ketukan palu para bapak-bapak yang sibuk menghias mobil pick up tua yang mereka sulap menjadi Pinisi, kapal khas dari Sulawesi Selatan. Dan aku harus rela untuk  mengenakan baju adat berwarna biru laut lengkap dengan songkok berwarna kuning terang. Menjadi bagian dari karnaval bukanlah agenda dari liburan ku, seharusnya aku berada di depan televisi,memegang stik PS dan menyelesaikan misi terakhir untuk menyelamatkan kota Racoon dari para zombie.

Matahari ceria sekali hari ini, ayah ku juga. Aku bisa melihatnya dari senyum dan matanya saat menggendong anak laki-laki satu-satunya yang ia miliki dan mendudukannya di atas ‘Pinisi’. Tapi tidak dengan ku.

 “kenapa harus aku?” Tanya ku.

“badan mu kecil” jawabnya singkat.

“aku sudah kelas satu SMP!”,aku berusaha berdebat,

“dan badan mu kecil”, lalu ia perlahan mengecil lalu menghilang dengan senyuman khasnya itu.

Aku menyadari bahwa Karnaval akan segera di mulai saat aku merasa kapal ‘Pinisi’ sudah bergerak untuk berlayar. Di sini cukup sempit, aku melihat 2 bangku kosong tepat di depan ku,dan seorang pria yang sibuk dengan ‘jas tutup’-nya.  Aku tidak mengenalinya. 10 menit kami tenggelam dalam diam.

**

“KARNAVAL BUDAYA NASIONAL KE-XX” aku menatap spanduk besar bergambarkan burung hitam yang besar dengan paruh panjangnya. Entah apa jenisnya. Tiba-tiba perlahan laju ‘Pinisi’ melambat, namun suara di sekitar ku semakin ramai. aku tahu aku tidak sendiri, jalan kini mulai di padati belasan mobil-mobil hias lainnya, ada yang berbentuk rumah Joglo, ada yang berbentuk seperti Reog,bahkan ada yang membawa bedug dengan para penabuhnya lengkap dengan speaker beserta mic-nya. Entah apa maksudnya.

Suara bapak walikota terdengar dari alun-alun kota hampir bersamaan dengan di injaknya rem mobil hias yang aku naiki, dan pria yang tadi bersamaku turun dari mobil sambil memberi tanda agar aku tetap menunggu dengan tangannya. Sepertinya bapak walikota sedang memberi sambutan dan berbicara tentang budaya, aku mendengarnya tapi tidak memperhatikannya,karena aku memilih memperhatikan pria asing itu kembali datang dengan  anak-anak yang berpakaian mirip denganku. 1 laki-laki dan 2 perempuan. “Hmm. Teman senasib” pikir ku.

“ayo semua naik ke mobil!” akhirnya pria asing itu bersuara juga. sambil menolong anak-anak itu naik satu-persatu. Pria itu sepertinya sedang ceria juga seperti matahari dan ayahku, itu terlihat dari siulannya  saat memasang spanduk kecil di bagian kiri badan mobil. Dengan bantuan ku dan teman baru ku tentunya. “Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan” adalah tulisan yang paling besar dari pada tulisan-tulisan yang lain yang tercetak di spanduk itu, setidaknya hanya itu yang aku bisa baca.

Musik khas dayak mulai di mainkan setelah berakhirnya sambutan yang di berikan bapak walikota. Para penari masuk  ke lapangan, warga menyemut, membuat setengah lingkaran di sekitar para penari, di atas mobil adalah posisi yang cukup baik untuk melihat tarian itu untuk ku, tak cuma penari yang bisa aku dapatkan di sini, ada juga para pedagang yang berhasil memenuhi trotoar dengan dagangannya, minuman soda, bakso, balon sampai mainan anak-anak. sepertinya siang ini adalah siang yang sibuk.

Sebuah percakapan yang berdialeg tidak asing membuat ku harus memperhatikan sumber suara itu, si gadis kecil dengan pria asing. Sepertinya itu bahasa bugis, dan gadis yang duduk tepat di depan ku cukup mahir menggunakannya. Aku sama sekali tidak mengerti bahasa bugis. Meski orangtua ku kedua berasal dari Sulawesi Selatan mereka tak pernah mengajarkan ku berbahasa bugis. Mereka sudah cukup lama pindah dan tinggal di Palangka Raya, bahkan sebelum aku lahir. Dan sepertinya anak laki-laki yang berbadan lebih tinggi dari ku tidak tertarik dengan percakapan itu, ia memilih berbincang dengan anak perempuan yang juga tak kalah tinggi darinya.

**

‘Pinisi’ berlayar lambat, mungkin aspal memang bukan medan yang tepat untuknya, atau  rumah dari Jerami khas Papua di depan terlalu lambat?, sedangkan, pria ber-‘jas tutup’ sudah pergi sejak beberapa tarian telah selasai di pentaskan dan mobil-mobil hias di persilahkan untuk berkeliling kota. Menjadi “tontonan” di jalan,di tambah dengan 3 anak-anak yang sama sekali tidak aku kenal. bukanlah hal yang menyenangkan.

Berbaju Bodo lengkap dengan bando, kalung, anting, dan gelang berwarna emas sepertinya cukup menyiksa gadis di depan ku, wajahnya cemberut. Aku kasihannya melihatnya.

“berat ya?, Aku mencoba mencairkan suasana.

“Hah?”, Ia terkejut.

“berat ya?, aku bertanya lagi.

ia hanya mengganggukkan kepala, sebelum akhirnya kami kembali menatap orang-orang  yang asik menikmati pemandangan langka di kotanya, yaitu kami.

“itu burung tingang”, tiba-tiba gadis itu berbicara. Aku hanya bisa diam menatapnya berbicara tentang nama burung berparuh panjang yang menjadi gambar di spanduk dan model dari patung bundaran yang sedang aku perhatikan.

“burung tingang itu burung nya orang dayak, makanya penari-penari dayak menggunakan bulu burung tingang untuk di taruh di kepalanya “ tambahnya.

Patung burung di bundaran itu adalah rute terjauh sebelum akhirnya rombongan mobil hias harus kembali ke alun-alun kota, sekaligus menjadi awal pembicaraan kami selama beberapa saat sebelum hujan akhirnya harus menghentikan karnaval dengan paksa. ‘nahkoda’ kami memilih sebuah ruko yang baru selesai di bangun  untuk berteduh. setelah menurunkan kami dari kapalnya ia segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi orang tua kami satu persatu.

Sore ini  langit begitu gelap, hujan turun keras, dan Angin sepertinya tak ingin kalah dengan langit. Aku mencuri-curi dengar percakapan tentang cuaca yang berubah-ubah dari supir kami dan pengendara sepeda motor yang tidak membawa mantel. Sedangkan kami berempat tidak saling bicara, dan dalam diam, aku menyukai gadis itu.

Hujan hampir mereda. Para pengendara lain mulai melanjutkan perjalanannya, lampu jalan juga sudah di nyalakan, saat sebuah mobil datang mendekat dan membawa anak perempuan yang bertubuh besar. Lalu mobil yang lain datang, gadis itu tersenyum sambil melambaikan tangannya kepada kami, sebagai tanda perpisahan tanpa kata-kata, Aku tahu ini sudah waktunya. Dan akhirnya mobil itu harus berjalan dalam gerimis dan lampu jalan, lalu menghilang.

**

Hujan di luar masih belum selesai, soal-soal di meja juga begitu. Aku masih enggan menyelesaikannya. Aku masih ingin menikmati pertunjukkan hujan dari jendela. Tapi pesan dari kekasih ku memaksa ku untuk sejenak mengabaikan hujan dan membalasnya. lalu aku meletakkan ponsel ku ke atas meja dan kembali menikmati hujan.

**

Sebuah mobil berhenti di sebuah lampu merah di dekat bundaran burung, jalanan di sekitarnya basah,sepertinya karena hujan. Di dalamnya hanya ada seorang perempuan dengan seragam berwarna coklat. Ia sedang membaca pesan yang baru masuk di ponselnya, “aku juga kangen, kamu masih ingat cerita soal burung Tingang tidak? ”
28 Des 2012
Tag :

Popular Post

Saddam Syukri. Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Aksara Lepas - Designed by restuwashere -